Senin, 09 April 2018

RESUME BUKU IILMU NEGARA BAB TEORI LEGITIMASI KEKUASAAN

RESUME 
TEORI LEGITIMASI KEKUASAAN
DOSEN PENGAMPU : Dr. H. Dedi Mulyadi, SH, MH
KELOMPOK IV
BAYU ARYAWIRA SANOOR                  7420117018
INA SITI FATONAH                                  7420117052
M. ANJAS SULAEMAN                           7420117162
MELINDA NOER FITRIANI                    7420117062
MUHAMMAD FAISAL RASYID             7420117164
PANDU FAN WIJAYA                               7420117090
RIZAL NURFHADILLAH                         7420117104
VINA RIANI                                                 7420117122

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
2018

TEORI LEGITIMASI KEKUASAAN
Ditinjau dari sudut hukum tatanegara, negara adalah suatu organisasi kekuasaan, dan organisasi itu merupakan kata kerja dari pada alat-alat perlengkapan negara.
1.      Sumber Kekuasaan
`           Teori teokrasi menyatakan bahwa asal atau sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Ssedangkan menurut teori hukum alam, kekuasaan itu berasal dari rakyat.
2.      Pemegang Kekuasaan ( Kekuasaan Tertinggi Atau Kedaulatan )
Dalam undang-undang dasar 1945, di dalam penjelasannya bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan yang tertinggi. Tetapi tidak di jelaskan lebih lanjut kekuasaan yang tertinggi untuk apa dan bagaimana sifatnya.
Teori – Teori Kedaulatan
a.       Teori Kedaulatan Tuhan
Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu antara abad ke V sampai ke XV. Dalam perkembangannya teori ini erat hubungannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu, yaitu agama Kristen, yang kemudian di organisir dalam suatu organisasi keagamaan yaitu gereja yang dikepalai oleh seorang Paus.
Beberapa ajaran atau teori berasal dari penganut teori teokrasi  antara lain adalah Augustinus, Thomas Aquinas dan Marsilius. Persoalan mereka mempersoalkan siapakah di dunia ini, kongkrit nya di dalam suatu negara itu, yang mewakili Tuhan, rajakah atau Paus kah.
Mula- mula dikatakan bahwa yang mewakili tuhan di dunia ini, jadi juga di dalam suatu negara, adalah Paus, ini adalah pendapat dari Agustinus. Kemudian dikatakan bahwa kekuasaan raja dan Paus itu sama, hanya saja tugasnya berlainan, raja dalam lapangan keduniawian, sedangkan Paus dalam lapangan keagamaan. Ini adalah pendapat dari Thomas Aquinas. Perkembangan selanjutnya menitik beratkan kekuasaan itu pada negara atau raja, ini adalah ajaran dari Marsilius.
b.      Teori Kedaulatan Negara
Kedaulatan itu tidak ada pada Tuhan, tetapi ada pada negara. Penganut teori kedaulatan negara ini antara lain adalah Jean Bodin, dan Georg Jellinek
Teori kedaulatan negara itu atau Staats-souvereineit, hanya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu pada negara, entah kekuasaan itu sifatnya absolut, entah sifatnya terbtas, beda dengan pengertian ajaran Staats-absolutisme. Sedangkan dalam ajaran Staats-absolutisme dikatakan bahwa kekuasaan negara itu sifatnya absolut.
Teori kedaulatan negara ini juga dikemukakan oleh Georg Jellinek. Jellinek mengatakan bahwa hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan negara. Negaralah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.
Jellinek mempertahankan pendapatnya dengan mengemukakan ajaran Selbstbindung, yaitu ajaran mengatakan bahwa negara dengan suka rela mengikatkan dirinya atau mengharuskan dirinya tunduk kepada hukum sebagai penjelmaan dari kehendaknya sendiri.
c.       Teori Kedaulatan Hukum
Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit tersebut yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warganegara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum.
Menurut Krabbe yang menjadi sumber hukum itu adalah rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Dapat dikatakan Krabbe terpengaruh oleh aliran Historis, yaitu aliran yang berkembang sesudah revolusi Perancis. Aliran Historis ini antara lain dipelopori oleh Von Savigny, yang mengatakan bahwa hukum itu harus tumbuh di dalam masyarakat itu sendiri.
Jadi, menurut Krabbe hukum itu tidaklah timbul dari kehendak negara, dan dia memberikan kepada hukum suatu kepribadian tersendiri. Dan hukum itu berlaku terlepas daripada kehendak negara.
d.      Teori Kedaulatan Rakyat
Ajaran dari kaum monarkomaken, khususnya ajaran dari Johannes Althusius, diteruskan oleh para sarjana dari aliran hukum alam, tetapi yang terakhir ini mencapai kesimpulan baru, yaitu bahwa semula individu-individu itu dengan melalui perjanjian masyarakat inilah para individu itu menyerahkan kekuasaannya, yang selanjutnya masyarakat inilah yang menyerahkan kekuasaan tersebut kepada raja.
Kekuasaan raja dibatasi oleh hukum alam, dan raja mendapatkan kekuasaannya dari rakyat, maka kalau demikian yang mempunyai kekuassaan tertinggi itu adalah rakyat, jadi yang berdaulat itu adalah rakyat. Maka lalu timbul idea baru tentang kedaulatan, yaitu kedaulatan rakyat, diciptakan oleh J.J Rousseau.
Teori kedaulatan ini antara lain juga diikuti oleh Immanuel Kant, yaitu yang mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan daripada para warga negaranya.





3.      Pengesahan Kekuasaan
Persoalan legitimasi kekuasaan itu sangat erat hubungannya, bahkan tidak dapat dipishkan dengan persoalan tentang tujuan negara, bahkan sebenarnya yang terakhir inilah yang menentukan yang pertama. Sebab yang sebenarnya kita dapat mengakui atau tidak, dapat menerima atau tidak, dapat mengakui syah atau tidak kekuasaan daripada pemerintah itu pertama-tama tergantung daripada tujuan yang direncakan dan diusahakan hendak dicapai oleh pemerintah demi rakyat yang diperintah. Pemerintah di sini dalam pengertian yang luas, jadi meliputi semua badan-badan.

Identitas Buku
1.      Judul buku                  : Ilmu Negara
2.      Penulis                         : Soehino, SH.
3.      Penerbit                       : Liberty, Yogyakarta
4.      Tahun terbit                 : 2008
5.      Jumlah halaman           : 278 hlm.

RESUME BUKU ILMU NEGARA BAB NEGARA DEMOKRASI MODERN

RESUME BUKU
NEGARA DEMOKRASI MODERN
DOSEN PENGAMPU : Dr. H. Dedi Mulyadi, SH, MH
Kelompok III
AMELIA SUCIANTI 7420117011
DADEN FIRDAUS 7420117023
ILMIYATI AGMI 742011705
RIZKY MAULANA ICHSAN 7420117107
TAUFIK RACHMAT SANI 7420117120
YUSTIKA DWI OKTAPIANTI 7420117125
ZAKIAH 7420117127
RHEZA YUDHA PRAWIRA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
2018

NEGARA DEMOKRASI MODERN

Sekitar abad ke XVII dan abad ke XVIII pertumbuhan serta perkembangan demokrasi dimulai dari Demokrasi langsung, demokrasi kuno yang mulai timbul dan berkembang sejak pada jaman Yunani kuno, sampai pada perkembangannya mencapai demokrasi tidak langsung, demokrasi perwakilan, atau demokrasi modern. Dalam hal ini akan erat hubungannya dengan ajaran-ajaran para sarjana hukum alam salah satunya ajaran Montesquieu, yaitu ajaran tentang pemisahan kekuasaan yang kemudian terkenal dengan nama Trias Politika, karena ajaran inilah yang justru akan menentukan tipe daripada demokrasi modern.
Salah satu penyelidikan tentang hal ini telah dilakukan oleh seorang sarjana Perancis yang bernama Montesquieu. Sehubungan dengan hal ini beliau mengemukakan adanya dua sifat daripada manusia yang berhubungan dengan kekuasaan, yaitu :
1.      Bahwa orang itu senang akan kekuasaan, apabila kekuasaan itu dipergunakan atau diperuntukkan bagi kepentingan dirinya sendiri.
2.      Bahwa  sekali orang itu memiliki kekuasaan, ia senantiasa ingin meluaskan serta memperbesar kekuasaan tersebut.
Di dalam teorinya atau ajarannya ini ia membedakan adanya tiga jenis kekuasaan negara, yaitu :
1.      Kekuasaan yang bersifat mengatur, atau menentukan peraturan.
2.      Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan sendiri.
3.      Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut.
Ketiga jenis kekuasaan ini harus didistribusikan kepada beberapa organ, dengan maksud bahwa satu organ itu hanya memegang satu kekuasaan saja, yaitu :
1.      Kekuasaan perundang-undangan diserahkan kepada badan legislatif.
2.      Kekuasaan pelaksanaan diserahkan kepada badan eksekutif.
3.      Kekuasaan pengawasan diserahkan kepada badan yudikatif.
Ajaran Trias Politika yang dikemukakan oleh Montesquieu ini mendapatkan 3 macam penafsiran di dalam pelaksanaannya, yaitu :
                                           a.            Di Amerika Serikat. Di sana pada waktu para perencana konstitusi sedang memikirkan tentang persoalan mengenai ajaran pemisahan kekuasaan ini mereka berpendapat bahwa yang dikehendaki oleh Montesquieu itu ialah pemisahan kekuasaan secara mutlak, secara sempurna, antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lainnya, bahkan juga antara organ yang satu dengan organ yang lainnya. Penafsiran ini nantinya akan menimbulkan suatu sistem pemerintahan yang terkenal dengan sebutan sistem presindensiel.
                                          b.            Di negara-negara Eropa Barat, yang dipelopori oleh Inggris. Menurut pendapat mereka bahwa yang dikehendaki oleh Montesquieu dengan ajaran Trias Politikanya itu ialah bahwa antara organ yang satu dengan organ yang lainnya itu terdapat hubungan yang bersifat timbal balik, khususnya antara badan legislatif dengan badan eksekutif. Dengan penafsirannya yang demikian ini maka mereka berhasil menciptakan suatu sistem pemerintahan, yang kemudian terkenal dengan sebutan sistem parlementer.
                                           c.            Di Swiss, ajaran tentang pemisahan kekuasaan dari Montesquieu ini mendapatkan penafsiran yang lain lagi, yaitu bahwa badan eksekutif itu hanya merupakan badan pelaksana saja daripada apa yang telah diputuskan oleh badan legislatif. Sistem pemerintahan yang dilaksanakan di Swiss ini disebut dengan sistem referendum.
Dengan demikian, berdasarkan sifat hubungan antara organ-organ yang diserahi kekuasaan, didapatkan 3 jenis sistem pemerintahan, yakni:
                                            i.            Negara dengan sistem pemerintahan presidensiil
                                          ii.            Negara dengan sistem pemerintahan parlementer
                                        iii.            Negara dengan sistem pemerintahan referendum
Jika sistem-sistem tersebut di atas kita hubungkan dengan demokrasi modern, kita akan mendapatkan tipe daripada demokrasi modern itu sebagai berikut :
a.       Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang presentatif dengan sistem pemisahan kekuasaan secara tegas, atau sistem presidensiel.
b.      Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi di antara badan-badan yang diserahi kekuasaan itu, terutama antara badan legislatif dengan badan eksekutif ada hubungan yang bersifat timbal balik, dapat saling mempengaruhi atau sistem parlementer.
c.       Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan, dan dengan kontrol secara langsung dari rakyat yang disebut sistem referendum, atau sistem badan pekerja.
Persamaan dari ketiga tipe demokrasi modern tersebut di atas ialah adanya badan perwakilan rakyat. Sedangkan perbedaannya terletak pada tempat serta fungsi badan perwakilan rakyat tersebut di dalam susunan negaranya.
Maurice Duverger mengajukan pendapatnya sendiri, yaitu klasifikasi yang berdasarkan struktur dari pada partai-partai politiknya. Berdasarkan ini klasifikasinya adalah :
1.      Sistem pemerintahan berpartai tunggal, ini misalnya yang terjadi di U.S.S.R.
2.      Sistem pemerintahan berpartai dua, ini misalnya yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris.
3.      Sistem pemerintahan berpartai banyak, ini misalnya yang pernah terjadi di Perancis, Jerman dan Italia.
Kalau orang tidak hanya memperhatikan struktur pemerintahannya, tetapi memperhitungkan pula kekuasaan para penguasa dan cara-cara pembatasan kekuasaan itu, maka dapatlah dikemukakan klasifikasi sebagai berikut :
1.      Sistem pemerintahan bebas. Di sini kekuasaan penguasa dibatasi sekeras-kerasnya, sedangkan kemerdekaan daripada individu, atau warga negara dijamin secara istimewa, terkecuali dalam lapangan ekonomi. Ini misalnya sistem pemerintahan di Inggris, Amerika Serikat, dan Swiss.
2.      Sistem pemerintahan setengah bebas. Di sini kekuasaan penguasa dibatasi secara lemah, dan begitu pula sifat jaminan bagi para individu atau warga negara sifatnya juga lemah. Ini misalnya sistem pemerintahan yang pernah dilaksanakan di negara-negara Balkan, dan di beberapa negara Amerika Selatan.
3.      Sistem pemerintahan totaliter atau kolektif. Di dalam sistem ini penguasa mempunyai kekuasaan yang bersifat mutlak atas atau terhadap para individu atau warga negara, kekuasaan mana disokong oleh suatu partai politik, Maurice Duverger menyebutnya dengan istilah polisi politik, dengan monopoli atas persurat-kabaran, sensus, dan sebagainya. Ini misalnya sistem pemerintahan di Rusia, Jerman pada jaman Nazi, dan Italia pada jaman Facis.
Kalau kita memperhatikan keseluruhan dari pada kalifikasi terakhir ini, maka klasifikasi akan hampir sama dengan klasifikasi yang pertama-tama kita uraikan di atas, yaitu :
1.      Dalam sistem pemerintahan liberal, di sini pengangkatan para penguasa dilakukan dengan pemilihan, dan pemulihannya dilakukan dengan secara bebas.
2.      Dalam sistem pemerintahan setengah liberal, di sini pengangkatan para penguasa juga dilakukan dengan pemilihan, tetapi sudah agak terpimpin.
3.      Dalam sistem pemerintahan totaliter atau kolektif, disini pengangkatan para penguasa tidak diselenggarakan dengan pemilihan, atau kalau tokoh dilaksanakan, itu hanya bersifat pura-pura saja jadi semacam plebisit.
Kembali kepada membicarakan tipe-tipe demokrasi modern. Kalau penggolongan daripada tipe-tipe demokrasi modern seperti yang telah dikemukakan dalam uraian-uraian di muka dijajarkan dengan penggolongan tipe-tipe pemerintahan yang dikemukakan oleh Maurice Duverger, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam uraian atau pembicaraan tentang tipe-tipe demokrasi modern, itu dititik beratkan pada tipe demokrasinya, oleh karena itu kita memberikan tempat tersendiri pada sistem pemerintahan Swiss, sedangkan Maurice Duverger menitik beratkan uraiannya kepada sistem pemerintahannya.



1.     TIPE-TIPE DEMOKRASI MODERN

a.            Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan secara tegas, atau sistem presidensiil. Sebagai contoh daripada sistem ini misalnya Amerika Serikat.
Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa yang menjadi ciri, atau kriteria daripada penggolongan atau klasifikasi tipe-tipe demokrasi modern ini adalah sifat hubungan antara badan-badan, atau organ-organ yang memegang kekuasaan daripada negara tersebut, terutama bagaimanakah sifat hubungan antara badan legislatif, yaitu badan yang memegang kekuasaan perundang-undangan, ini biasanya adalah badan perwakilah rakyat, ingat sistem trias politika, dengan badan eksekutif, yaitu badan yang memegang kekuasaan pemerintahan, atau badan yang melaksanakan peraturan-peraturan negara, atau disebut juga pemerintah.

b.           Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi diantara badan-badan yang diserahi kekuasaan itu, terutama antara badan legislatif dengan badan eksekutif, ada hubungan yang bersifat timbal balik, dapat saling mempengaruhi atau sistem parlementer.
Di dalam sistem ini ada hubungan yang erat antara badan eksekutif dengan badan legislatif, atau parlemen atau badan perwakilan rakyat. Tugas atau kekuasaan eksekutif di sini diserahkan kepada suatu badan yang disebut kabinet atau dewan menteri. Kabinet ini mempertanggung-jawabkan kebijaksanaannya, terutama dalam lapangan pemerintahan kepada badan perwakilan rakyat, yang menurut ajaran trias politika Montesquieu diserahi tugas memegang kekuasaan perundang-undangan, atau kekuasaan legislatif.

c.            Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan, dengan stelsel referendum, atau kontrol secara langsung oleh rakyat.
Salah satu jalan lagi untuk menghidarkan suatu pemerintahan yang bersifat absolut ialah sistem yang dipergunakan atau dilaksanakan di Swiss, yaitu yang disebut sistem referendum. Di dalam sistem referendum ini, di Swiss badan eksekutif disebut Bundesrat yang bersifat suatu dewan, merupakan bagian daripada badan legislatif yang disebut Bundesversammlung. Bundesversammlung ini terdiri dari Nationalrat dan Standerat. Natinalrat adalah badan perwakilan nasional, sedangkan Standerat adalah perwakilan daripada negara-negara bagian yang disebut kanton. Dengan demikian maka Bundesrat tidak dapat dibubarkan oleh Bundesversammlung. Lagi pula yang dimaksud di dalam sistem ini adalah bahwa, Bundesrat itu semata-semata hanya menjadi badan pelaksana saja daripada segala kehendak atau keputusan Bundesversammlung itu ditunjuk tujuh orang, yang kemudian ketujuh orang ini merupakan suatu badan yang bertugas melaksanakan secara administratif keputusan-keputusan daripada Bundesversammlung. Jadi anggota-anggota Bundesrat itu diambil dari sebagian anggota-anggota Bundesversammlung.

Identitas Buku 
1)      Judul Buku           : ILMU NEGARA
2)      Penulis                  : Soehino, S.H
3)      Penerbit                : LIBERTY, YOGYAKARTA
4)      Tahun Terbit                  :
5)      Jumlah Halaman   : 287 halaman

RESUME BUKU ILMU NEGARA BAB KLASIFIKASI NEGARA

RESUME BUKU ILMU NEGARA BAB  KLASIFIKASI NEGARA
DOSEN PENGAMPU : Dr. H. Dedi Mulyadi, SH, MH

    Kelompok dua semester II B
Ardy gusti yana
7420117016
Erwin reza sugilar
7420117038
Galih ramadiya feraldi
7420117044
Harvi rihantono
7420117047
Hasyim candra
7420117048
Muhamad samsul aripin
7420117144
Neng meriyana
7420117085
Yosi yolanda
7420117123
Yusup hermawan putra
7420117126


FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SURYAKANCANA
2017/2018





KLASIFIKASI NEGARA

1.      Klasifikasi Negara Klasik Tradisional :Monarki, Aristokrasi, Demokrasi
Sejak timbulnya pemikiran tentang negara dan hukum, para ahli pikir telah membicarakan kemungkinan bentuk negara. Pada umumnya mereka mengklasifikasikan bentuk negara menjadi tiga golongan dan yang dipergunakan sebagai kriteria pada umumnya dapat dikatakan sama. Hanya saja mereka mempergunakan sistem serta istilah yang berbeda-beda. Misalnya ajaran dari Plato, Aristoteles, Polybius, dan Thomas van Aquinas, mereka mengklasifikasikan negara dalam tiga bentuk, yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi.
Sedangkan yang dipergunakan sebagai kriteria adalah:
a)      Susunan pemerintahannya. Artinya adalah jumlah orang yang memegang pemerintahan, pemerintahan itu dipegang oleh satu orang tunggal, beberapa atau segolongan orang, ataukah pemerintahan itu ada pada rakyat.
b)      Sifat pemerintahannya. Artinya pemerintahan itu ditujukan untuk kepentingan umum, ataukah hanya untuk kepentingan mereka yang memegang pemerintahan itu saja. Keadaan demikian inilah yang kemudian menimbulkan ekses atau kemerosotan dari pemerintahan yang baik, yaitu secara berturut-turut: ekses dari monarki adalah Tyrani, ekses dari aristokrasi adalah Oligarki, sedang ekses demokrasi adalah anarki.
Dengan demikian seolah-olah ada enam bentuk negara, tetapi sebenarnya hanya ada tiga. Karena terbukti bahwa dalam pemerintahan yang tidak memperhatikan kepentingan umum selalu mendapat perlawanan dari rakyat, yang mengakibatkan berubahnya sifat pemerintahan seperti yang dikehendaki rakyatnya.[1]


2.      Klasifikasi Negara dalam Bentuk Monarki dan Republik
Pada zaman renaissance, seorang sarjana ahli pemikir besar tentang negara dan hukum, Niccolo Machiavelli dalam bukunya II Principe, telah mengemukakan penjenisan negara menjadi dua bentuk, yaitu Republik atau Monarki. Kemudian pada zaman modern George Jellinek dalam bukunya Allgemene Staatslehre, juga mengemukakan penjelasan bentuk negara menjadi dua yaitu Republik dan Monarki. Sebetulnya menurut Jellinek perbedaan antara republik dan monarki itu benar-benar mengenai perbedaan daripada sistem pemerintahannya, tetapi sekalipun demikian Jellinek sendiri mengartikannya sebagai perbedaan daripada bentuk negaranya. Di dalam mengemukakan perbedaan antara monarki dan republik tadi Jellinek mempergunakan kriteria tentang bagaimanakah cara terbentuknya kemauan negara. [2]
Hal itu karena menurut Jellinek negara itu dianggap sebagai sesuatu kesatuan yang mempunyai dasar-dasar hidup, dan dengan demikian negara itu mempunyai kemauan/ kehendak. Kemauan negara ini sifatnya abstrak, sedangkan dalam bentuknya yang konkrit kemauan negara itu menjelma sebagai hukum atau undang-undang. Jadi, undang-undang atau peraturan-peraturan itu adalah adalah merupakan perwujudan atau penjelmaan daripada kemauan negara. Negara yang memiliki kekuasaan tertinggi dan wewenang membuat dan menetapkan undang-undang.
Menurut Jellinek ada dua cara mengenai terbentuknya kemauan negara itu:
a)      Kemauan negara itu terbentuk atau tersusun di dalam jiwa seseorang yang mempunyai wujud atau bentuk fisik. Artinya kemauan negara itu hanya ditentukan oleh satu orang tunggal, tiada orang atau badan lain yang dapat ikut campur dalam pembentukkan kehendak negara itu. Jadi, dalam monarki ini, undang-undang hanya ditentukan oleh satu orang tunggal.
b)      Kemauan negara itu terbentuk atau tersusun di dalam suatu dewan. Dewan itu adalah suatu pengertian yang adanya hanya di dalam hukum, dan sifatnya abstrak, serta berbentuk yuridis. Memang sebenarnya anggota-anggota dari dewan itu yaitu orang, adalah merupakan berbentuk fisik, tetapi dewannya itu sendiri adalah merupakan kenyataan yuridis, karena dewan itu adalah merupakan konstruksi hukum, jadi yang adanya itu justru sebagai akibat ditetapkan oleh peraturan hukum, dimana beberapa orang merupakan suatu kesatuan dan dianggap sebagai suatu persoon. Kehendak negara yang terbentuk secara demikian ini disebut kehendak atau kemauan yuridis, dan negara yang memiliki kemauan yuridis ini disebut Republik.[3]
Oleh karena itu dapatlah dikatakan apabila dalam suatu negara itu undang-undangnya merupakan hasil karya dari satu orang tunggal saja, maka negara itu disebut Monarki. Sedangkan apabila undang-undang merupakan hasil karya dari suatu dewan maka  negara itu disebut Republik. Sesuai dengan sistem ajarannya, menggolongkan negara yang disebut Wahl-monarchie, yaitu suatu negara dimana kepala Negara dipilih atau diangkat oleh suatu organ atau badan khusus. [4]
Tapi pendapat oleh Jillinek kurang diterima oleh Kranenburg, bahwa ajaran Jillinek tadi terdapat kelemahan antara lain  tentang cara terbentuknya kemauan negara, maka apabila Jillinek menggolongkan negara Inggris kedalam monarki, seharusnya ia menyebut negara Inggris dengan istilah republik. Karena di Inggris pembentukan kemauan negara yang berwujud undang-undang itu tidak terjadi secara pisik. Artinya pembentukan undang-undang terjadi secara yuridis, yaitu pembentukan undang-undang di Inggris dilakukan oleh King in Parliament, oleh Mahkota bersama-sama dengan parlemen. Pembentukan kemauan negara di Inggris dilakukan oleh suatu dewan yang terdiri dari: raja, menteri, dan parlemen.
Tetapi Jillinek tetap berpendapat bahwa Inggris adalah Monarki, jadi tetap mempertahankan pendapatnya bahwa pembentukan kemauan negara Inggris terjadi secara pisik, sebab di Inggris itu menurut Jillinek yang penting dalam membuat dan atau menetapkan suatu undang-undang adalah Raja.
Demikian keadaanya, bahwa pendapat Jillinek  sangat bertentangan keadaan yang senyatanya, misalnya mengenai gambaran pembentukan undang-undang seperti yang dilukiskan Jillinek di Inggris, itu terdapat di Indonesia. Di Indonesia Rancangan Undang-undang diusulkan oleh Presiden dan harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, setelah disetujui kemudian disyahkan kembali oleh Presiden agar undang-undang memiliki kekuatan berlaku.
Pada zaman sekarang Monarki diartikan pada adanya lembaga ketatanegaraan yang khusus kedudukannya, kepala negara dari negara yang berbentuk Monarki yaitu mendapat kedudukan karena pewarisan. Menurut Leon Deguit dalam mengadakan pembedaan antara bentuk negara Monarki dengan negara Repubik kriteria yang digunakan adalah cara atau sistem penunjukan atau pengangkatan kepala negara.
Berdasarkan kriteria tersebut diatas, menurut Leon Deguit negara itu disebut Monarki apabila kepala negaranya ditunjuk atau diangkat melalui sistem pewarisan, sedangkan suatu negara itu disebut Republik, apabila kepala negaranya itu ditunjuk atau diangkat melalui pemilihan, perampasan, penunjukan atau sebagainya. Leon Deguit membagi bentuk negara menjadi tiga, antara lain:
1. Negara Kesatuan;
Negara Kesatuan adalah negara bersusunan tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya ada di tangan pemerintah pusat.[5]
2. Negara Serikat;
Negara serikat merupakan negara bersusun jamak, terdiri atas beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat.
3. Perserikatan Negara-negara.
Perserikatan negara pada hakikatnya bukanlah negara, melainkan suatu perserikatan yang beranggotakan negara-negara yang masing-masing berdaulat.[6]
Pada ajaran Leon Deguit, negara dimana Raja atau Kepala Negaranya diangkat melalui sisitem pemilihan bukanlah monarki, padahal kenyataannya Negara tersebut adalah suatu kerajaan. Seperti kerajaan German, terhadap Negara tersebut Leon Deguit ragu menyebutnya negara republik, maka disebutlah republik Aristokrat yaitu kepala negaranya bergelar raja. Untuk melihat keadaan sekarang ini ajaran Leon Deguit dapat dijadikan referensi.[7]
3.      Autoritären Führerstaat
Menurut Prof. Otto Koellreuttert terdapat jenis negara autokrasi terpimpin, atau autoritären fuhrerstaat, atau autorithire leiderstaat. Yaitu negara yang dipimpin oleh kekuasaan negara, yang berdasarkan atas pandangan autoriet negara. Negara ini sedikit banyak dikuasai oleh asas ketidaksamaan dan asas kesamaan, karena pemegang kekuasaan hanya pemerintahan negara itu bukan hanya orang dari satu dinasti saja.
Negara ini merupakan bentuk campuran monarki dan republik, dan mempunyai sifat keduanya. Dalam hal penunjukkan kepala negara berdasarkan pada pandangan autoritet negara, berdasarkan pada kemampuan memerintah serta kemampuan menguasai rakyatnya. Sedangkan asas kesamaan dan ketidaksamaan dikesampingkan. Otto Koellreutter kemudian menunjukkan Adoplh Hitler dalam bukunya Mein Kamft, yang mengatakan bahwa tujuan gerakan nasionalis-sosialis tidak terletak dalam mendirikan atau menegakkan monarki atau republik, melainkan dalam menghasilkan negara Jerman.[8]
4.      Klasifikasi negara menurut Prof. Mr. R. Kranenburg
Teori kekelompokkan
Klasifikasi teori kelompok, Kranenburg menggunakan dua kriteria, yaitu:
a)      Sifat kesetempatan, artinya kelompok yang memiliki sifat setempat atau tidak setempat.
b)      Sifat keteraturan, atinya kelompok yang memiliki sifat teratur atau tidak teratur.
Dengan menggunakan dua klasifikasi tersebut, ia kembali menglasifikasikannya menjadi empat kelompok, yaitu:
1.      Kelompok yang sifatnya setempat dan tidak teratur.
Kelompok ini misalnya kelompok orang yang berkerumun pada suatu tempat untuk menyaksikan suatu kejadian yang terjadi secara tiba-tiba dengan kepentingan yang berbeda, seperti kecelakaan. Ciri khusus kelompok ini adalah sifatnya yang suggestif, mudah terpengaruh, dan mudah menimbulkan ekses.
2. Kelompok yang sifatnya setempat dan teratur
Kelompok yang berkumpul pada suatu tempat dengan tujuan yang sama dan tujuan ini dapat dicapai dengan keteraturan. Contohnya mahasiswa yang mengikuti kuliah.
2.      Kelompok yang sifatnya tidak setempat dan tidak teratur
Kelompok ini datang dari persamaan yang bersifat objektif. Misalnya persamaan nasib atau tujuan.
3.      Kelompok yang sifatnya tidak setempat dan teratur
Kelompok ini merupakan kelompok tertinggi yang disebut kelompok subjektif yang dapat terdiri dari keluarga, perkumpulan, partai politik, negara, perserikatan negara, dan negara serikat. Faktor pokok kelompok ini adalah kelompok itu sendiri, karena adanya kepentingan bersama yang datang dari keinginan bersama untuk mencapai tujuan. Menurut Kranenburg hal ini dapat dibuktikan dari nama yang dipakai untuk kelompok tersebut, misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa.[9]
Menurut Kranenburg, hakikat negara tergantung hubungan antar fungsi negara itu dengan organ. Kranenburg menglasifikasikan negara berdasarkan kriteria sebagai berikut:
A. Kriteria pertama
1) Sifat hubungan antara fungsi dan organ dalam negara. Apakah fungsi negara hanya dipusatkan pada satu organ, atau dipisahkan kemudian didistribusikan kepada beberapa organ.
2) Sifat dari organ negara iu sendiri, artinya jika fungsi negara dipusatkan pada satu organ; bagaimana sifat hubungan antara organ itu satu sama lain, dan jika fungsi negara dipisahkan dan masing-masing diserahkan kepada satu organ.
Dengan kriteria tersebut, negara dapat diklsifikasikan sebagai berikut:
1) Negara yang berpegang pada satu kekuasaan Absolut
a. Organ bersifat tunggal, artinya organ tertinggi dengan kekuasaan tertinggi oleh satu orang tunggal –monarki.
b. Organ bersifat beberapa orang, artinya organ dan kekuasaan yang tertinggi dilaksanakan oleh beberapa orang aristokrasi atau oligarki.
c. Organ bersifat jamak, artinya organ tersebut pada prinsipnya berkedaulatan rakyat demokrasi.
Jika sistem absolutisme dikombinasikan dengan sifat dari organnya, maka akan didapatkan diantaranya:
a. Monarki absolut
Negara yang fungsi atau kekuasaannya dipusatkan pada satu organ, sedangkan organnya dipegang satu orang tunggal.
b. Aristokrasi atau oligarki absolut
Negara yang fungsi atau kekuasaannya dipusatkan pada satu organ, sedangkan organnya sendiri dipegang beberapa orang.
c. Demokrasi absolut
Negara yang fungsi atau kekuasaannya dipusatkan pada satu organ, sedangkan organnya sendiri dipegang oleh seluruh rakyat demokrasi murni.
2) Negara dengan pemisahan kekuasaan –trias politika
a. Negara yang melaksanakan sistem pemisahan kekuasaan secara tegas. Artinya masing-masing organ tidak saling mempengaruhi, khususnya antra badan legislatif dan eksekutif (presidensiil).
b. Negara yang melaksanakan sistem pemisahan kekuasaan, dan masing-masing organ memegang kekuasaan tersebut, khususnya antara badan legislatif dan eksekutif, dapat saling mempengaruhi atau saling berhubungan yang bersifat politis. Artinya, jika kebijaksanaan badan yang satu tidak mendapat persetujuan dari badan yang lain, badan tersebut dapat dibubarkan (parlementer).
c. Negara yang melaksanakan sistem pemisahan kekuasaan dan pada prinsipnya bdan eksekutif bersifat sebagai badan pelaksanaan pada apa yang telah diputuskan oleh badan legislatif. Dan disertai dengan pengawasan langsung oleh rakyat dengan sistem referendum.
B. Kriteria kedua
Kriteria ini dikemukakan Kranenburg dalam menglasifikasikan bentuk negara berdasarkan perkembangan sejarah dan penglasifikasian negara modern yang timbul sebagai akibat dari perkembangan politik zaman modern. Berdasarkan hal tersebut, negara dapat diklasifikasikan menjadi:
1) Negara dalam bentuk historis
a. Federasi negara dari zaman kuno.
b. Sistem provincia Romawi.
c. Negara dengan sistem feodal.
2) Negara dalam bentuk modern
a. Perserikatan negara-negara atau Staatenbund.
b. Negara serikat atau Bundesstaat.
c. Negara kesatuan atau negara Unitaris.
d. Negara kemakmuran bersama Inggris atau Bristish Common-Wealth of Nations.[10]
4.      Klasifikasi Negara Menurut Hans Kelsen
Hans Kelsen penganut ajaran Positivisme, ia menulis ajarannya dalam bukunya Der Soziolosische und der juristisch Staatsbegriff. Dalam ajaran Hans Kelsen negara itu pada hakekatnya adalah merupakan Zwangsordnung, yaitu suatu tertib hukum atau tertib masyarakat yang mempunyai sifat memaksa, menimbulkan hak memerintah dan kewajiban tunduk. Jadi dalam hal ini ada pembatasan terhadap kebebasan warga negara padahal menurut Hans Kelsen kebebasan warga negara itu merupakan nilai yang fundamental atau pokok dalam suatu negara.[11]
Menurut Hans Kelsen sifat kebebasan warga negara itu ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1.      Sifat mengikatnya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan atau dibuat oleh penguasa yang berwenang.
2.      Sifat keleluasaan penguasa atau pemerintah dalam mencampuri atau mengatur peri kehidupan daripada warga negaranya.
Berdasarkan kriteria tersebut, Hans mengklasifikasikan negara menjadi:
1. Berdasarkan kriteria yang pertama, yaitu sifat mengikatnya peraturan hukum   yang dibuat atau dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang, maka:
a) Pada azasnya peraturan hukum yang dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang hanya mengikat atau berlaku terhadap rakyat atau warga negara . jadi tidak berlaku atau mengikat pada penguasa yang membuat dan mengeluarkan peraturan-peraturan hukum tersebut.
b) Pada azasnya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan oleh penguasa yang berwenag itu kecuali mengikat warga negaranya atau rakyatnya juga mengikat si pembuat peraturan hukum itu sendiri.
2. Berdasarkan kriteria kedua, yaitu sifat keleluasaan penguasa atau pemerintah dalam mengatur kehidupan para warga negaranya, maka:
a) Pada azasnya penguasa atau negara mempunyai keleluasaan mencampuri atau mengatur segala segi kehidupan daripada para warga negaranya.
b) Pada azasnya penguasa atau negara hanya dapat mencampuri perihal kehidupan daripada para warga negaranya yang pokok-pokok saja, yang menyangkut kehidupan warga negara secara keseluruhan.
Pada umumnya negara yang memakai sistem autonomi, yaitu negara di mana penguasa yang mengeluarkan peraturan hukum ikut terikat. Dan kecenderungan untuk merubah sistem ke arah sistem liberal.[12]
5.      Klasifikasi Negara menerut R.M Mac Iver
R.M.Mac Iver adalah seorang sarjana Amerika, dalam ilmu kenegaraan ia menulis ajaranya dalam bukunya, The Web Of Government, dan dalam bukunya yang lain, The Modern state. Dalam bukunya yang pertama, Mac Iver antara lain tentang terjadinya negara mengatakan bahwa , negara itu terjadi dari pertumbuhan suatu keluarga atau family. Pertumbuhan atau perkembangan ini terjadi secara singkat, melalui beberapa phase, yaitu:
a)      Pashe pertama adalah keluarga atau family tersebut. Dalam keluarga tersebut, meskipun sifatnya masih sangat sederhana, namun telah ada kebiasaan- kebiasaan, mores, atau custom, serta pula kekuasaan, author, yang tidak dapat terlepas dari kebiasaan- kebiasaan tersebut.
b)      Pashe kedua adalah bahwa family atau keluarga itu berkembang menjadi besar dan disebut klan yang dipakai oleh seorang primus inter pares. Primus inter paris ini lama- kelamaan menjadi pemimpin sungguh- sungguh dari pada klan tersebut, serta mempunyai kekuasaan yang nyata.
Dalam uraiannya Mac Iver menyebutkan hasil perkembangan keluarga sebagai negara setelah tercapai territorial-state. Dan ini terjadi setelah melewati jaman feodalisme. Sedangkan perkembangan antara family sampai pada Mac Iver mengemukakan pendapat tentang perbedaan antara pemerintah, government, dengan negara, state. Menurut beilau perbedaannya adalah: bahwa negara itu adalah organisasinya, sedangkan pemerintahan adalah organ yang menjalankan admisintrasi daripada organisas tersebut. Mac Iver mengemukakan dua sistem pengklasifikasian negara, yaitu:
a)      A tri partite classification of state, disebut pula sistem traditionelclassification, mempergunakan kriteria suatu pertanyaan: Siapakah yang memegang kekuasaan pemerintahan negara itu? kekuasaan tertinggi negara hanya dipegang oleh satu orang saja, maka sesungguhnya telah memuat bentuk-bentuk pemerintahan yang sangat berbeda, sebab dapat meliputi monarki dapat juga sebagai dictator ataupun tyranni.
b)      A bi partite classification of state, kriteria sistem ini adalah dasar yang praktis, yaitu mempergunakan dasar konstitusional. Penggolongan negara dengan sistem ini menghasilkan dua golongan besar, yaitu demokrasi dan oligarki. Menurut Mac Iver perlu untuk diketahui bahwa dalam proses perubahan politik pada setiap bentuk pemerintahan.[13]



6.      Klasifikasi Negara menurut Maurice Duverger

Maurice menyatakan, pengertian negara dalam arti luas adalah rupa daripada perbedaanumum antara orang-orang yang memerintah dengan yang diperintah. Sedangkan dalam artisempit, istilah tata negara hanya dapat dipakai buat menunjukkan bangun pemerintahan. Maurice dalam mengklasifikasikan negara menggunakan kriteria, bagaimanakah sifat relasiantara penguasa dengan rakyat. Relasi tersebut nampak jelas pada cara pemilihan penguasa.

Berikut ini merupakan pengelompokan sistem ini ke dalam dua golongan :

A.  Negara autokrasi. Artinya, pemilihan penguasa dengan cara tidak mengikutsertakan rakyat.
1. Perebutan kekuasaan., Hal ini dapat dijalankan dengan cara :
a)      Revolusi, yakni suatucara perebutan kekuasaan dengan menggunakan kekuatan seluruh rakyat;
b)      Coupd’etat, yakni dengan menggunakan kekuatan pemerintah lama untuk menggulingkandan kemudian menggantikannya;
c)      Pronunciamiento, yakni semaca coup d’etatdengan menggunakan kekuatan militer.
2. Sistem keturunan
3. Kooptasi, penunjukan penguasa oleh yang lama dan kemudian menggantinya
4. Sistem pengundian
5. Sistem yang mana pengangkatan penguasa akan menggantikan itu dilakukan oleh penguasa lain. Ini bisa melalui pemilihan umum dan menjadi demokrasi.
B. Cara demokratis. Pemilihan penguasa dengan cara mengikutsertakan rakyat. Dibagi    menjadi dua:      (a) demokrasi langsung;
(b) demokrasi perwakilan.
C. Negara oligarki. Yakni campuran antara negara autokrasi dengan demokrasi. Prinsip kombinasi antara keduanya
a)    Sistem pemerintahan campuran menurut juxtaposition. Dalam sistem ini ditemukan dua organ yakni autokratis dan demokratis.
b)   Sistem pemerintahan campuran secara kombinasi. Ini adalah suatu negara yangkekuasaan dipegang oleh satu orang dimana pengangkatannya dilakukan dengan caraautokrasi dan demokrasi.

Sistem pemerintahan campuran secara berfusi dan berpadu. Didalam sistem pengangkatan penguasa pemerintah ini terdapat unsur-unsur autokrasi dan demokrasi se





[1] Ibid hal. 173
[2] Ibid hal. 174-175 periksa : Prof. Mr. R. Kranenburg, cit., hal 70-90
[3] Ibid hal. 175
[4] Ibid hal. 176
[5] https://ruhcitra.wordpress.com/2008/11/09/bentuk-negara-dan-bentuk-kenegaraan/
[6] http://www.dosenpendidikan.com/negara-serikat-perserikatan-pengertian-ciri-contoh-perbedaan/
[7] Ibid hal. 179-182
[8] Ibid hal. 182-183
[9] Ibid hal. 184-186
[10] Ibid hal. 188-191
[11] Ibid hal. 191
[12] Ibid hal. 191-193
[13] Ibid hal. 198

Identitas   Buku
1)      Judul Buku           : ILMU NEGARA
2)      Penulis                  : Soehino, S.H
3)      Penerbit                : LIBERTY, YOGYAKARTA
4)      Tahun Terbit         :2008
5)      Jumlah Halaman   : 287 hlm.

materi perkuliahan